Kamis, 06 November 2014

Menjemput Subuh di Puncak Guntur





Pagi itu sunyi senyap. Dingin memeluk erat mengacuhkan waktu yang aku lihat dari HP sudah menunjukkan hampir pukul 04.00 WIB. “Ah.. biarlah sebentar lagi” gumamku sambil menerawang ke atas. Ke langit-langit tenda dome kapasitas 3 orang. Dan sesekali bangkit membidik desa-desa di bawah yang berperang cahaya lampunya dengan kabut tebal. Tebal kemudian menipis dan hilang bersama sang bayu. Kemudian menebal kembali dan kembali mengalahkan cahaya lampu-lampu desa. Kolaborasi yang solid dari udara Gunung Guntur untuk menetapkan kami tak beranjak dari tenda masing-masing. 

Kali ini sayup-sayup pujian dan doa tarhim dari mushola atau masjid mulai menghampiri masuk ke telingaku. Suara itu berusaha keras menerobos di antara nyanyian alam membongkar kupluk yang kukenakan erat di kepala. Hingga salah seorang kawanku, Rohan, terbangun dan segera mengajak bersiap-siap kepada yang lainnya untuk muncak sebelum Subuh nanti terganti. Memang dia sangat bersemangat untuk segera ke puncak, apalagi target kami untuk nge-camp di lembah sekitar puncak belum tergapai karena kondisi fisik tim. Dari semalam, dia tidak begitu ingin menghabiskan waktu malam untuk tidur. Tapi untuk bercengkerama dan menelanjangi setiap eloknya alam Guntur dan desa di bawahnya. Setiap sudut yang bisa dibidik oleh kamera dari tenda itu, ia tangkap. Aku mengerti. Seperti planning kemarin malam, kami harus ke puncak sebelum Subuh habis dan berarti jam 4 pagi sebelum Subuh kami harus berangkat. Stop complaining! Aku sebagai team leader harus bisa memotivasi untuk mencapai target dan tentu pasti mempertimbangkan kondisi tim. Aku yakin semua sudah fit and fresh.

Rohan membuka resleting tenda dan segera keluar membangunkan Bimo dan Kak Yogi di satu tenda bawah dengan logistik yang harus dijaga. Kondisi tempat camp kami memang kurang nyaman. Tanah gembur bersama pasir dan kerikil sangat mudah ambrol sedikit-sedikit. Apalagi kondisi tanah yang miring sebelum mencapai puncak. Aku mengikuti. Aku ambil daypack di sebelah sleeping bag dan segera keluar mengikuti Rohan bersiap. Bimo dan Kak Yogi pun menyambut seruan kami dan bersiap bangun. Habib dibalut sleeping bag tampak sangat nyaman tidur malam itu. Tapi tidak bisa kali ini. Udara dingin menggerayanginya. Menggodanya untuk bangun dan menyambut kasih Tuhan di alam bebas ini.

Persiapan selesai. Kami hanya bawa satu tas ransel kecil berisi makanan ringan dan air serta tak lupa kompor dan gasnya untuk memasak di atas nanti. Kamera pasti tak ketinggalan. Serta ada yang membawa daypack untuk perlengkapan sendiri lainnya. Sepatu kami ikat kencang. Jaket sudah ditutup rapat rongganya, topi atau kupluk sudah ditutupkan ke kepala, scarf atau syal sudah dilekatkan di leher untuk penghangat atau masker jika debu beterbangan. Sarung tangan juga sudah membalut telapak tangan kami. Bersama senter yang siap untuk menerjang gelap. Kami berkumpul, briefing dan berdoa agar perjalanan kami aman, nyaman dan berkesan. Aku julurkan tangan ke depan diikuti yang lain. Kuteriakkan jargon dan segera sambut teriak seluruh tim membalasnya.

                Bismillahi rahmani rahim.. Guntur 2014..!!
                Allahu akbar!!

Kami mulai menapakkan kaki selangkah demi selangkah sembari tangan mencengkeram tanah, batu besar, pohon atau rumput ilalang sebagai pegangan. Kami bungkukkan badan ke depan dan kali ini lebih ringan karena tidak membawa beban berat seperti kemarin. Sebagian besar barang kami tinggalkan di camp.
Seperti biasa Kak Yogi paling depan sebagai pembuka jalan. Mencari kira-kira mana jalur yang bisa dilewati dengan paling aman. Meski kami tahu track-nya miring hingga hampir 80o .Tak banyak pepohonan yang bisa kami jadikan pegangan. Pandangan kami pun tak seluas ketika mentari hadir seperti kemarin. Kak Yogi dengan headlamp di kepalanya mencari pijakan-pijakan yang bisa digunakan. Sesekali membantu Bimo di bawah atau di belakangnya. Bimo yang kondisinya sudah membaik setelah sebelumnya untuk berdiripun susah. Kondisi dengan dengkul koplok seperti tak ada tenaga bisa saja menghampiri setiap pendaki. Ia merasakan seperti tak ada lutut di kaki kirinya. Ia menyambut kembali tantangan Guntur untuk menggapai puncaknya. 

Kemudian di bawahnya ada Habib dengan senter mengikuti langkah Bimo. Tidur nyenyak semalan sepertinya memberikan efek yang kentara. Dengan formasi demikian kami bisa saling menjaga dan membantu demi persahabatan yang teruji ini. Puncak yang belum terlihat oleh kami menjadi target peneguhan. 

Di bawah Habib ada Rohan untuk meng-cover Habib ataupun Bimo. Karena Bimo maupun Habib kadang berjalan beriringan dan bahkan bertukar posisi. Rohan memang tidak ada senter atau headlamp. Dia mendapat cahaya dari Habib atau dariku. Bulan ataupun bintang mungkin masih malu dari kemarin. Atau mungkin mereka belum mau menyapa kami dengan ceria cahaya. Kami yang asik dengan kubik-kubik batu rumus mencoba menerka dan melangkahinya. Atau juga mungkin bulan dan bintang belum mampu bersandirawa sebagai pemeran utama. Kalah dari awan kabut dingin yang merajai panggung gunung ini.

Maka paling bawah adalah aku sebagai penyapu. Dengan senter yang paling terang saat itu, aku pastikan semua temanku aman. Cahaya putih menyebar luas dan jauh ke depan dari senter yang kupegang di tangan kanan. Hingga kadang aku berada agak jauh dari teman-teman di depan karena menunggu mereka mengambil nafas di tengah medan. Saat itulah aku segera mencuri langkah memanjat dengan kaki kuat dan cepat. Telapak tangan kiriku mencari apa-apa yang bisa untuk pegangan. Sementara tangan kananku tetap mengacung ke atas. Membidik setiap pergerakan tim di depan.

“lewat sini aja..” kak Yogi mengarahkan jalur yang mudah untuk ditempuh.
Bimo tersenyum. Membenarkan letak sorban di lehernya seraya mengambil nafas dan melepaskannya.. “Hah… he..he..”
“ayo bim..”  Habib nyengir ke Bimo. Untuk memotivasi orang kadang harus sedikit disindir. Dan itu mungkin gaya Habib ke Bimo. Itu sudah biasa bagi kami ketika di kontrakan.
“ah kok gitu.. Habib mah..” begitu biasa kata keluar dari Bimo.
“yang di atas ambil kiri aja.. ada rumput buat pegangan tuh..” Rohan meramaikan perbincangan di lereng terjal itu.

Terdiam sejenak aku terbuai celoteh teman-temanku yang kompak dengan alam. Tersenyum aku dibuatnya. Dengan panjatan doa dan syukur terus aku kepada Allah Rabbul’alamin yang memberikan anugerah yang besar ini kepada kami. Udara segar yang kami hirup bergantian dengan helaan nafas terengah-engah mengepul dari mulut kami. Tiupan angin begitu sejuk bersama suara adzan yang mulai terdengar.

Ku tengok sebelah kiri, angin meniup kabut mendaki ke atas. Bak naga terbang mengibas kakinya ke gunung. Ku toleh ke kanan, angin jua yang menggoyangkan rimbunan pohon di bukit samping. Gelap pekat bergelombang. Ku berbalik pandang ke belakang. Kabut putih tersibak bersama angin melewati kami. Begitu semakin terlihat lampu-lampu desa di bawah. Tapi kali ini aku sadar. Beradu cahaya lampu dengan pantulan sang surya. Matahari akan segera menyusul jika kami tak segera ke puncak.

“Ayo bro.. matahari segera muncul nih.. kita harus sholat sebelum sunrise..!!” aku pacu dengan teman-teman agar segera sampai di puncak. Bahwa semangat yang sudah ada menunggu komando untuk dilangkahkan.

Batu besar di bawah puncak sudah di samping kanan ku. Ternyata pendaki yang berjalan malam melewati camp kami telah bermalam di sini. Kami sapa mereka dan dengan ramah mereka membalasnya. Senyumku semakin berkembang ketika kulihat kak Yogi sudah berada di puncak. Berteriak menyapa puncak Guntur dengan membentangkan kedua tangannya. Bimo yang duduk di bawahnya segera bangkit. Ada Habib di samping yang segera ikut naik. Rohan pun tersenyum puas ketika melihat ke belakang hingga sadar aku telah di dekatnya. Kemudian dia segera naik beberapa langkah dan sampai di puncak.

“Ayo kurang sedikit lagi sampai puncak..” gumamku dalam hati memerintah kaki untuk tetap tegar.
 “Alhamdulillah..” kami bersyukur. Tersenyum puas menghirup udara. Kabut berhempas mengusap muka kami. Seperti basuhan wudhu dikala bersiap sholat. Kami ingat kepada Sang Maha Pencipta, Sang Penguasa Alam ini.

Segera kucari tempat luas.
 “Ayo bro sholat.. keburu habis ntar..!!” ajakku setelah mendapatkan tempat untuk sholat. Kubentangkan scarfku dan kutata sedemikan rupa untuk tempat sujud. Dan kuletakkan telapak tangan di atas scarf itu untuk tayyamum. Teman yang lain segera sigap mengikuti di belakang sebagai ma’mum. Tepat kami pastikan arah kiblat.
“Aku berniat sholat subuh dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah ta’ala.”

Kubaca Surat Al-Insyirah di raka’at pertama untuk menegaskan firman Allah “Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.” Kemudian di rakaat kedua kubaca Surat Al-Adiyat tentang kuda-kuda perang yang berlari terengah-engah di kegelapan menjelang Subuh untuk mengingatkan kami bahwa langkah yang kami tempuh tadi belumlah seberapa. Tak lupa kutengadahkan tangan membaca doa Qunut meminta pertolongan Allah.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu..”
“Assalamualaikum warahmatullahi..”

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Berhasil kami jemput Subuh. Sukses kami capai puncak pertama gunung yang berlokasi di Garut ini. Dan ada puncak-puncak lainnya yang telah menunggu. Tapi pertanyaannya bukan hanya “Berapa puncak yang bisa kami capai? ”. Melainkan “Apakah kita tetap beribadah ketika mendaki?”

Terima kasih Tuhan, telah memberikan banyak kenikmatan yang luar biasa ini kepada kami.

Salam tulus kami dari puncak Gunung Guntur kepada semuanya.

Selasa, 21 Oktober 2014 ba’da Subuh di puncak Gunung Guntur Garut.

Continue Reading...

Followers

Social Media

Follow Twitter Add Facebook