Pagi itu sunyi senyap. Dingin
memeluk erat mengacuhkan waktu yang aku lihat dari HP sudah menunjukkan hampir
pukul 04.00 WIB. “Ah.. biarlah
sebentar lagi” gumamku sambil menerawang ke atas. Ke langit-langit tenda dome
kapasitas 3 orang. Dan sesekali bangkit membidik desa-desa di bawah yang
berperang cahaya lampunya dengan kabut tebal. Tebal kemudian menipis dan hilang
bersama sang bayu. Kemudian menebal kembali dan kembali mengalahkan cahaya
lampu-lampu desa. Kolaborasi yang solid dari udara Gunung Guntur untuk
menetapkan kami tak beranjak dari tenda masing-masing.
Kali ini sayup-sayup pujian dan
doa tarhim dari mushola atau masjid mulai menghampiri masuk ke telingaku. Suara
itu berusaha keras menerobos di antara nyanyian alam membongkar kupluk yang
kukenakan erat di kepala. Hingga salah seorang kawanku, Rohan, terbangun dan
segera mengajak bersiap-siap kepada yang lainnya untuk muncak sebelum Subuh nanti terganti. Memang dia sangat bersemangat
untuk segera ke puncak, apalagi target kami untuk nge-camp di lembah sekitar puncak belum tergapai karena kondisi fisik
tim. Dari semalam, dia tidak begitu ingin menghabiskan waktu malam untuk tidur.
Tapi untuk bercengkerama dan menelanjangi setiap eloknya alam Guntur dan desa
di bawahnya. Setiap sudut yang bisa dibidik oleh kamera dari tenda itu, ia
tangkap. Aku mengerti. Seperti planning
kemarin malam, kami harus ke puncak sebelum Subuh habis dan berarti jam 4 pagi
sebelum Subuh kami harus berangkat. Stop
complaining! Aku sebagai team leader
harus bisa memotivasi untuk mencapai target dan tentu pasti mempertimbangkan
kondisi tim. Aku yakin semua sudah fit
and fresh.
Rohan membuka resleting tenda dan segera keluar
membangunkan Bimo dan Kak Yogi di satu tenda bawah dengan logistik yang harus
dijaga. Kondisi tempat camp kami memang kurang nyaman. Tanah gembur bersama
pasir dan kerikil sangat mudah ambrol
sedikit-sedikit. Apalagi kondisi tanah yang miring sebelum mencapai puncak. Aku
mengikuti. Aku ambil daypack di
sebelah sleeping bag dan segera
keluar mengikuti Rohan bersiap. Bimo dan Kak Yogi pun menyambut seruan kami dan
bersiap bangun. Habib dibalut sleeping
bag tampak sangat nyaman tidur
malam itu. Tapi tidak bisa kali ini. Udara dingin menggerayanginya. Menggodanya
untuk bangun dan menyambut kasih Tuhan di alam bebas ini.
Persiapan selesai. Kami hanya
bawa satu tas ransel kecil berisi makanan ringan dan air serta tak lupa kompor
dan gasnya untuk memasak di atas nanti. Kamera pasti tak ketinggalan. Serta ada
yang membawa daypack untuk
perlengkapan sendiri lainnya. Sepatu kami ikat kencang. Jaket sudah ditutup
rapat rongganya, topi atau kupluk sudah ditutupkan ke kepala, scarf atau syal
sudah dilekatkan di leher untuk penghangat atau masker jika debu beterbangan.
Sarung tangan juga sudah membalut telapak tangan kami. Bersama senter yang siap
untuk menerjang gelap. Kami berkumpul, briefing
dan berdoa agar perjalanan kami aman, nyaman dan berkesan. Aku julurkan tangan
ke depan diikuti yang lain. Kuteriakkan jargon dan segera sambut teriak seluruh
tim membalasnya.
“Bismillahi rahmani rahim.. Guntur 2014..!!”
“Allahu akbar!!”
Kami mulai menapakkan kaki selangkah
demi selangkah sembari tangan mencengkeram tanah, batu besar, pohon atau rumput
ilalang sebagai pegangan. Kami bungkukkan badan ke depan dan kali ini lebih
ringan karena tidak membawa beban berat seperti kemarin. Sebagian besar barang
kami tinggalkan di camp.
Seperti biasa Kak Yogi paling
depan sebagai pembuka jalan. Mencari kira-kira mana jalur yang bisa dilewati
dengan paling aman. Meski kami tahu track-nya
miring hingga hampir 80o .Tak banyak pepohonan yang bisa kami
jadikan pegangan. Pandangan kami pun tak seluas ketika mentari hadir seperti
kemarin. Kak Yogi dengan headlamp di kepalanya
mencari pijakan-pijakan yang bisa digunakan. Sesekali membantu Bimo di bawah
atau di belakangnya. Bimo yang kondisinya sudah membaik setelah sebelumnya
untuk berdiripun susah. Kondisi dengan dengkul koplok seperti tak ada tenaga bisa saja menghampiri setiap pendaki.
Ia merasakan seperti tak ada lutut di kaki kirinya. Ia menyambut kembali
tantangan Guntur untuk menggapai puncaknya.
Kemudian di bawahnya ada Habib
dengan senter mengikuti langkah Bimo. Tidur nyenyak semalan sepertinya memberikan
efek yang kentara. Dengan formasi demikian kami bisa saling menjaga dan
membantu demi persahabatan yang teruji ini. Puncak yang belum terlihat oleh
kami menjadi target peneguhan.
Di bawah Habib ada Rohan untuk
meng-cover Habib ataupun Bimo. Karena
Bimo maupun Habib kadang berjalan beriringan dan bahkan bertukar posisi. Rohan
memang tidak ada senter atau headlamp.
Dia mendapat cahaya dari Habib atau dariku. Bulan ataupun bintang mungkin masih
malu dari kemarin. Atau mungkin mereka belum mau menyapa kami dengan ceria
cahaya. Kami yang asik dengan kubik-kubik batu rumus mencoba menerka dan
melangkahinya. Atau juga mungkin bulan dan bintang belum mampu bersandirawa
sebagai pemeran utama. Kalah dari awan kabut dingin yang merajai panggung
gunung ini.
Maka paling bawah adalah aku
sebagai penyapu. Dengan senter yang paling terang saat itu, aku pastikan semua
temanku aman. Cahaya putih menyebar luas dan jauh ke depan dari senter yang
kupegang di tangan kanan. Hingga kadang aku berada agak jauh dari teman-teman
di depan karena menunggu mereka mengambil nafas di tengah medan. Saat itulah
aku segera mencuri langkah memanjat dengan kaki kuat dan cepat. Telapak tangan
kiriku mencari apa-apa yang bisa untuk pegangan. Sementara tangan kananku tetap
mengacung ke atas. Membidik setiap pergerakan tim di depan.
“lewat sini
aja..” kak Yogi mengarahkan jalur yang mudah untuk ditempuh.
Bimo tersenyum.
Membenarkan letak sorban di lehernya seraya mengambil nafas dan melepaskannya..
“Hah… he..he..”
“ayo bim..” Habib nyengir ke Bimo. Untuk memotivasi orang
kadang harus sedikit disindir. Dan itu mungkin gaya Habib ke Bimo. Itu sudah
biasa bagi kami ketika di kontrakan.
“ah kok gitu..
Habib mah..” begitu biasa kata keluar dari Bimo.
“yang di atas
ambil kiri aja.. ada rumput buat pegangan tuh..” Rohan meramaikan perbincangan
di lereng terjal itu.
Terdiam sejenak aku terbuai
celoteh teman-temanku yang kompak dengan alam. Tersenyum aku dibuatnya. Dengan
panjatan doa dan syukur terus aku kepada Allah Rabbul’alamin yang memberikan
anugerah yang besar ini kepada kami. Udara segar yang kami hirup bergantian
dengan helaan nafas terengah-engah mengepul dari mulut kami. Tiupan angin
begitu sejuk bersama suara adzan yang mulai terdengar.
Ku tengok sebelah kiri, angin
meniup kabut mendaki ke atas. Bak naga terbang mengibas kakinya ke gunung. Ku toleh
ke kanan, angin jua yang menggoyangkan rimbunan pohon di bukit samping. Gelap
pekat bergelombang. Ku berbalik pandang ke belakang. Kabut putih tersibak
bersama angin melewati kami. Begitu semakin terlihat lampu-lampu desa di bawah.
Tapi kali ini aku sadar. Beradu cahaya lampu dengan pantulan sang surya.
Matahari akan segera menyusul jika kami tak segera ke puncak.
“Ayo bro.. matahari segera muncul
nih.. kita harus sholat sebelum sunrise..!!”
aku pacu dengan teman-teman agar segera sampai di puncak. Bahwa semangat yang
sudah ada menunggu komando untuk dilangkahkan.
Batu besar di bawah puncak sudah
di samping kanan ku. Ternyata pendaki yang berjalan malam melewati camp kami telah bermalam di sini. Kami sapa
mereka dan dengan ramah mereka membalasnya. Senyumku semakin berkembang ketika
kulihat kak Yogi sudah berada di puncak. Berteriak menyapa puncak Guntur dengan
membentangkan kedua tangannya. Bimo yang duduk di bawahnya segera bangkit. Ada
Habib di samping yang segera ikut naik. Rohan pun tersenyum puas ketika melihat
ke belakang hingga sadar aku telah di dekatnya. Kemudian dia segera naik
beberapa langkah dan sampai di puncak.
“Ayo kurang sedikit lagi sampai
puncak..” gumamku dalam hati memerintah kaki untuk tetap tegar.
“Alhamdulillah..” kami bersyukur. Tersenyum puas menghirup udara. Kabut berhempas mengusap muka kami. Seperti basuhan wudhu dikala bersiap sholat. Kami ingat kepada Sang Maha Pencipta, Sang Penguasa Alam ini.
Segera kucari tempat luas.
“Ayo bro sholat.. keburu habis ntar..!!” ajakku setelah mendapatkan tempat untuk sholat. Kubentangkan scarfku dan kutata sedemikan rupa untuk tempat sujud. Dan kuletakkan telapak tangan di atas scarf itu untuk tayyamum. Teman yang lain segera sigap mengikuti di belakang sebagai ma’mum. Tepat kami pastikan arah kiblat.
“Alhamdulillah..” kami bersyukur. Tersenyum puas menghirup udara. Kabut berhempas mengusap muka kami. Seperti basuhan wudhu dikala bersiap sholat. Kami ingat kepada Sang Maha Pencipta, Sang Penguasa Alam ini.
Segera kucari tempat luas.
“Ayo bro sholat.. keburu habis ntar..!!” ajakku setelah mendapatkan tempat untuk sholat. Kubentangkan scarfku dan kutata sedemikan rupa untuk tempat sujud. Dan kuletakkan telapak tangan di atas scarf itu untuk tayyamum. Teman yang lain segera sigap mengikuti di belakang sebagai ma’mum. Tepat kami pastikan arah kiblat.
“Aku berniat
sholat subuh dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah ta’ala.”
Kubaca Surat Al-Insyirah di raka’at pertama
untuk menegaskan firman Allah “Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.” Kemudian
di rakaat kedua kubaca Surat Al-Adiyat tentang kuda-kuda perang yang berlari
terengah-engah di kegelapan menjelang Subuh untuk mengingatkan kami bahwa
langkah yang kami tempuh tadi belumlah seberapa. Tak lupa kutengadahkan tangan
membaca doa Qunut meminta pertolongan Allah.
“Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuhu..”
“Assalamualaikum
warahmatullahi..”
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Berhasil kami jemput Subuh. Sukses kami capai puncak pertama gunung yang
berlokasi di Garut ini. Dan ada puncak-puncak lainnya yang telah menunggu. Tapi
pertanyaannya bukan hanya “Berapa puncak yang bisa kami capai? ”. Melainkan
“Apakah kita tetap beribadah ketika mendaki?”
Terima kasih Tuhan, telah
memberikan banyak kenikmatan yang luar biasa ini kepada kami.
Salam tulus kami dari puncak
Gunung Guntur kepada semuanya.
Selasa, 21 Oktober 2014 ba’da
Subuh di puncak Gunung Guntur Garut.